Taufik Hidayat dan Mulyo Handoyo berpelukan saat medali emas Olimpiade 2004 berhasil diraih. (Foto: Ist)
“Ibaratnya, kalau nggak
ada orang ketiga, nggak
bisa bercanda”
ITULAH ucapan yang keluar dari pelatih bulutangkis
Mulyo Handoyo ketika ditanya tentang hubungan kesehariannya dengan
Taufik Hidayat, pebulutangkis nasional dengan segudang prestasi, yang
menjadi anak didiknya sejak 1996. Hubungan antara Taufik dan Mulyo
memang seperti kawat, kaku baik di dalam maupun luar lapangan.
Namun, langkanya momen berbagi canda antara Taufik dan Mulyo bukan
karena keduanya punya konflik atau sering berselisih. Tapi, begitulah
cara mereka untuk mengerti dan paham satu sama lain.
“Jujur saja, setiap latihan, saya sama Taufik itu lebih banyak
seriusnya, jadi hal itu sampai terbawa ke luar lapangan. Ibaratnya,
kalau nggak ada orang ketiga, gak bisa bercanda, itu hingga
bertahun-tahun,” ujar Mulyo. Justru, berawal dari sikap dingin seperti
itulah medali emas Olimpiade dan gelar juara dunia digenggam Taufik.
Perjumpaan pertama Mulyo dengan Taufik terjadi di Pelatnas, 16 tahun
silam. Taufik baru dipanggil, sedangkan sang pelatih sudah satu tahun
melatih di Cipayung. Pertama kali menyaksikan, Mulyo menilai permainan
Taufik enak ditonton, namun ia belum terlalu yakin karena menurutnya,
untuk menjadi seorang juara dibutuhkan proses.
“Tapi setelah beberapa bulan melatih, saya bisa bilang Taufik luar biasa
dan merupakan pemain masa depan. Program-program yang saya terapkan
bisa dia ikuti hingga mencapai 90 persen dan peningkatannya sangat
pesat,” ujar Mulyo saat ditemui
Okezone di Taufik Hidayat Arena, Selasa (18/12/2012).
Di bawah asuhannya, permainan Taufik kian berkembang. Pebulutangkis asal
Pangalengan, Kabupaten Bandung itu pun mulai bersinar pada akhir era
90an, setelah memenangi beberapa kejuaraan internasional. Prestasi yang
dicapai Taufik menunjukkan bahwa ia cocok dengan metode latihan yang
diberikan Mulyo.
Namun, pada 2001 Taufik “dipaksa” berpisah dengan Mulyo. Semua berawal
dari kritik yang dilontarkan Taufik kepada Pengurus Besar Persatuan Bulu
Tangkis Indonesia (PB PBSI). Dianggap tak bisa mengontrol anak asuhnya,
PBSI pun kemudian mencopot jabatan Mulyo sebagai pelatih di Pelatnas.
Padahal, Taufik sedang bertengger di peringkat satu dunia.
“Saat itu saya sebenarnya
nggak tahu apa yang dibicarakan Taufik (kepada pengurus). Setelah itu, mungkin pengurus berpikir saya yang
nyuruh,
karena saya sampai dipanggil dan disidang, padahal saya nggak tahu sama
sekali. Ya saya jawab apa adanya saja,” ujar pelatih kelahiran Pati
berusia 52 tahun tersebut.
Selepas meninggalkan Pelatnas, Mulyo kemudian melatih Singapura, yang
saat itu masih menganggap bulu tangkis sebagai olahraga rekreasi
-prestasi bukan prioritas-. Merasa tak nyaman dengan suasana di
Pelatnas, Taufik kemudian memutuskan keluar dan mengikuti jejak
pelatihnya ke Negeri Singa.
Hanya dua bulan di Singapura, Taufik dipanggil pulang oleh PBSI, yang
saat itu baru berganti kepengurusan. Taufik pun bersedia, kendati
akhirnya tetap harus berpisah dengan Mulyo. Taufik kembali membela
Indonesia, sedangkan sang pelatih di bawah bendera Singapura. Keduanya
beberapa kali berjumpa di kejuaraan internasional.
Setelah dua setengah tahun berpisah, “kekompakan dalam dingin” itu hadir
kembali pada 2004, saat Mulyo menyetujui permintaan PBSI untuk kembali
melatih Taufik. “Karena saat di Singapura saya diterima dan diperlakukan
dengan sangat baik, saya bersedia kembali ke Indonesia asalkan ada
‘permisi’ dari PBSI kepada Asosiasi Bulu Tangkis Singapura (BSA),” ujar
Mulyo.
Namun, sebelum benar-benar
deal kembali ke Pelatnas, ada satu
pertanyaan yang dilontarkan Mulyo kepada Taufik. ”(Jelang tanda tangan
kontrak), saya bertemu dengan Pak Chairul, Rudi Hartono, dan Taufik di
Plaza Senayan. Saya tanya, ‘fik, kamu masih mau
capek gak? Dia bilang mau. Saya memang butuh komitmen dari dia,” ujar Mulyo.
Komitmen itu pun dibuktikan Taufik. Kembali berada di tangan yang tepat,
Taufik meraih prestasi terbaik sepanjang kariernya. Ia meraih medali
emas pada Olimpiade 2004 di Athena, dan mengawinkannya dengan gelar
juara dunia di Anaheim satu tahun berikutnya. Rasa puas, haru, dan
bangga pun tak bisa disembunyikan Mulyo.
“Sebagai pelatih tentu saya juga menginginkan target tertinggi bisa
tercapai. Meraih medali emas Olimpiade (2004) adalah momen yang paling
tak terlupakan. Saya sebagai pelatih sangat bangga,” ujar Mulyo, yang
memulai karier kepelatihannya di usia 22 tahun.
Pada 2009, Mulyo dan Taufik tak lagi di Pelatnas, namun kebersamaan
mereka terus berlanjut. Taufik, yang selanjutnya menjadi pemain
profesional, mendirikan manajemen olahraga bernama TH Force dan berlatih
di GOR Bantong, Cijantung yang ia sewa. Mulyo pun diajaknya untuk
menjadi pelatih.
Kini, Taufik tak perlu menyewa tempat lagi, karena telah membangun
sarana olahraga yang berdiri di atas tanah seluas 6.600m² bernama Taufik
Hidayat Arena (THA). Tentu, Mulyo pun kembali menjadi sosok yang
dipercaya Taufik untuk menjadi pelatih kepala di arena yang diresmikan
Senin (10/12/2012) lalu tersebut.
Sementara dalam urusan karier, Taufik sudah memutuskan akan pensiun usai
mengikuti gelaran Indonesia Open, September 2013. Sebelumnya, ia
mengatakan akan mempertimbangkan pensiun usai Olimpiade 2012. Namun,
minimnya pemain muda berkualitas yang bisa menggantikannya, Taufik pun
tak bisa pensiun dengan terburu-buru.
Pebulutangkis yang kini berusia 31 tahun itu sempat berbincang dengan
Mulyo terkait kelanjutan kariernya. “Saya bilang, 'kalau kamu masih jadi
pemain tapi setengah hati ya nggak ada gunanya'. Saya tidak memaksa,
tapi saya minta dia untuk memikirkannya lebih jauh,” ujar Mulyo.
Kini, waktu pensiun Taufik akan tiba hanya dalam hitungan bulan, namun
kebersamaannya dengan Mulyo dipastikan tak akan berhenti sampai di situ.
Melalui THA, Mulyo pun berharap bisa muncul Taufik-Taufik berikutnya.
“Saya akan kembangkan THA, kan ini untuk Indonesia juga,” pungkas Mulyo,
yang juga terbesit niat mendirikan klub bersama Taufik
sumber : http://sports.okezone.com/read/2012/12/18/433/734025/taufik-mulyo-kaku-tapi-serasi